HN

Pages

Tuesday, May 14, 2019

Hari Bersamamu

             Tanggal 11 November 2013 adalah hari jadian kita, saya bahkan masih ingat suasananya. Tak banyak modus yang bisa kuberikan sebelum aku nyaman bersamamu. Kata “sayang” yang biasanya kubully habis-habisan, akhirnya teradopsi di jendela ponsel saya hamper tiap pagi. Perasaan bahagia selalu mengantar perjalanan ke sekolah kala itu, dan pastinya kamu masuk daftar alasan kebahagiaan itu. Entah apa spesialku, rasanya tak ada yang istimewa, tapi ketika makanan yang kau masak dari rumah dan kau bawa ke sekolah untukku, seketika aku merasa istimewa, walaupun skalanya Cuma kita berdua.
                Hari ulang tahunmu membuat pikirku agak cemas, hadiah ulang tahun dariku tak yakin buatmu seistimewa makanan yang kau kemas baik untukku, tapi semoga setidaknya membawa sedikit kebahagiaan. Hari ulang tahun ku lagi-lagi kau mengemasnya dengan istimewa, kau antarkan paket kebahagiaan ke rumah yang ku yakin suatu saat nanti kau tinggali juga. Ruang tamu jadi saksi obrolanmu dengan orang tuaku. Hari-hari di sekolah intinya indah bersamamu, namun bukan berarti tanpa masalah, karena saya sangat labil. Hari pelulusan aku lihat dia di kelas dengan pandangan yang seolah menempatkannya di dekatku saat momen penentuan kelulusan. Ingin sekali kupesan pintu doraemon untukmu agar bisa merayakan salah satu momen bahagia dalam hidup. Tak apa dia tak di sampingku, karena seragam yang kupakai punya tempat spesial untuk tanda tanganmu.
              Hari setelah pelulusan sepi tanpa kehadiranmu, namun masih ceria di jendela ponselku. Hari-hari perkuliahan diwarnai hubungan jarak jauh denganmu. Semester pertama adalah masa bergairah, beban masih kurang, tugas harian, apalagi tugas akhir, ya singkatnya masih santai. Hari masuknya saya ke salah satu organisasi membuat hubunganku dengan orang spesialku mulai terganggu, bagaimana tidak, kami dianjurkan untuk tidak pacaran sebelum nikah. Sebuah pilihan sulit menyapa di setiap pagi, terlebih lagi salah satu teman di sana bilang “Jodoh tak akan ke mana kawan.” Pada saat itu dilemma yang kudapat. Memutuskan orang yang membuatku istimewa demi hubungan yang istimewa dengan Sang Pencipta.
                  Hari aku memutuskan hubunganku tidak semudah yang kuperkirakan, sempat ragu dengan langkah yang kuambil, namun sudah terlanjur kuremas kertas hubungan kita. “Ikhlaskan, maka suatu saat nanti apabila jodoh, akan bertemu juga.” , dalam hati “Bagaimana bisa kembali, sedang hubungan yang dibangun sejak lama, kini hancur tanpa perlu adanya badai.” Tapi selalu saja ada yang seakan merespon pikiranku, “Sang pencipta Maha membolak-balikkan hati Saudara.” Aku semakin yakin dengan langkahku, terlebih lagi ajakan balikanku sudah taka da harapan. Junior temanku di kampusnya kujadikan umpan agar kertas hubunganku semakin kusut dan tak ada harapan untuk baik seperti sediakala. “Kalau jodoh pasti kembali.” Ku uji prinsip itu.
            Saat kupinjam nama junior teman, orang-orang mulai berpikiran bahwa ada yang salah dengan saya. Baru putus, sudah punya lagi, hadeh, gila!. Padahal orang itu tak pernah kutemui. Akhirnya kau semakin jauh, bagai senja yang kunikmati sore itu yang mengantar perpisahan siang dan malam sembari berdoa semoga matahariku bisa kembali esok hari dengan cahaya yang lebih terang dan kesiapanku yang lebih baik lagi. Mengikhlaskan hubunganku sungguh bukan perkara mudah, apalagi tanpa adanya jaminan tuk dapat kembali. Tapi kucoba yakinkan diri kalau ini adalah cara Sang pencipta menjaga dari apa yang bisa membuatku lebih mengingat ciptaanNya dibanding Sang Pencipta.

Sebelumnya saya sangat ingin menyampaikan ini padamu, namun aku mencoba mengikhlaskan kisah kita, iya kita.